Jumat, Desember 13, 2013

Bersih-bersih Blog

Hari ini aku akan membersihkan blogku ini. Blog ini mau kukembalikan ke tujuan asalnya, yaitu menuliskan cerita-ceritaku sebagai wadah untukku belajar menulis.
Saat ini aku pun gerah melihat isi blogku yang campur aduk, antara latihan menulisku dengan usaha rumahku yang sedang kukembangkan.
Jadi kumpulan tulisan promosiku kupindahkan ke Butik Kecil Nisrina.
Semoga dengan demikian, aku menjadi lebih fokus dan bersemangat untuk menulis di blog ini tanpa harus terganggu dengan promosi produk.

Jumat, Desember 06, 2013

Membuat Kartu Cerita

Kesukaan Nina adalah menggunting dan menempel. Dengan kesukaannya tersebut, kucoba mengajaknya membuat kartu cerita. Biasanya dia akan menggunting apa saja, koran, majalah atau kertas-kertas yang sudah digambarinya sendiri. Hasil-hasil guntingannya seringkali terbuang setelahnya.

membuat kartu cerita



Kali ini kuajak dia untuk menempelkan hasil-hasil guntingannya ke kartu-kartu kecil yang telah kusediakan sebelumnya. Kartu-kartu tersebut kubuat dari kalender bekas yang cukup tebal kertasnya.
Gambar-gambarnya kami ambil dari majalah bekas. Nina yang memilih sendiri gambar-gambarnya.

Setelah kartu-kartunya selesai dibuat, kami bersama-sama membuat cerita bebas dari kartu-kartu tersebut. Rame juga...ceritanya ga habis-habis, selalu berubah dan berkembang. Selain itu, bisa disimpan untuk digunakan kembali di lain waktu.



Jumat, Mei 31, 2013

Sudahkah Kaucuci Piring Makanmu?


Setiap selesai makan, selalu kupesankan pada anak sulungku untuk mencuci piringnya sendiri. Meskipun sedikit mengeluh, dia tetap melaksanakan pesanku itu. Tetapi selalu ada saja barang yang disisakan untuk dicuci oleh orang lain, yaitu sendok dan garpunya. Di samping itu, piring yang dicucinya seringkali masih menyisakan bekas nasi atau minyak.

Mungkin baginya mencuci piring bukanlah sebuah pekerjaan yang penting. Namun dalam kenyataannya mencuci piring menyimpan proses pembelajaran dan pembentukan karakter di dalamnya.

Cerita berikut ini kukutip dari buku berjudul Mendidik Karakter dengan Karakter, karya Ida S. Widayanti;

Alkisah, pada suatu masa ada seorang pemuda yang mencari guru terbaik di negerinya. Ia mendengar bahwa guru yang paling hebat tinggal di sebuah tempat yang jauh dan sulit untuk ditempuh. Karena tekadnya sudah sangat kuat, maka berangkatlah pemuda itu dengan membawa perbekalan secukupnya.

Setelah menempuh perjalanan jauh, tibalah sang pemuda di tempat sang guru.

“Apa yang membuatmu tiba di tempat ini, anak muda?” Tanya sang guru.

“Saya ingin berguru agar saya menjadi orang yang arif bijaksana serta menjadi seorang pemimpin masyarakat.”

“Baiklah, sebelum saya bisa menerimamu, saya ingin bertanya, apakah engkau mencuci piring bekas sarapanmu tadi pagi?”

“Tentu saja tidak sempat, Guru. Berangkat ke sini bagi saya merupakan hal yang sangat penting, jangan sampai terganggu oleh hal yang sepele.”

“Kamu salah, sekarang pulanglah dulu. Cucilah piringmu dulu! Bagaimana mungkin engkau bisa menjadi pemimpin yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negeri, sedangkan engkau tidak bertanggung jawab terhadap barang yang telah engkau pergunakan.”

Sifat tanggung jawab harus dibangun dari hal-hal yang kecil dan dari dalam dirinya sendiri, demikian hikmah yang dapat dipetik dari kisah di atas. Seorang anak sudah sewajarnya diajak untuk menyelesaikan tanggung jawabnya terhadap barang-barang yang dipergunakannya sebelum dia diminta bertanggung jawab untuk hal-hal yang lebih besar di luar rumahnya, baik itu lingkungan sekolah atau masyarakat.  

Melipat selimut, menjemur handuk, menempatkan baju kotor dalam keranjang cucian, mencuci piring bekas makan, dan memasukkan kotak bekal ke dalam tas sekolah hanyalah beberapa contoh hal kecil yang sering dilewatkan begitu saja oleh anak-anakku sebelum berangkat ke sekolah. Agar anak bertanggung jawab akan hal-hal kecil tersebut, orang tua hanya tidak boleh bosan untuk terus mengingatkan dan jangan selalu mengambil alih tanggung jawab tersebut, karena sesungguhnya rumah adalah tempat belajar utama bagi anak.

Sabtu, Mei 25, 2013

Belajar Digital Scrapbooking

Melihat hasil digiscrap karya teman-temanku di grup fb membuatku penasaran ingin mencobanya. Belajar dari ibu teman anakku melalui blognya Nadia Scraps, aku iseng-iseng mulai membuatnya. Karena aku belum rajin mengikuti perkembangan, dengan kata lain masih timbul tenggelam semangatnya, maka aku masih memakai freekits yang itu-itu saja, yang kudapatkan dari FreeDigiScrap setahun yang lalu mungkin. Selain itu aku juga menggunakan kit Tuesday Morning by Aly De Moraes dan Plentiful dari Shabby Princess. Ditambah lagi kemampuanku yang tidak meningkat dalam menggunakan Adobe Photoshop CS3, karena selalu lupa perintah-perintah yang harus digunakan. Meskipun demikian, saat mencoba membuat sendiri scrapbooking ini, aku selalu bersemangat dan bisa setia di depan komputer dalam waktu yang lama. Berikut ini adalah hasil coba-coba seorang pemula:


Saat bermain bersama di halaman depan rumah 
Sekolahku pilihanku
Want to be a popstar



Jumat, Mei 17, 2013

Cerita Pelangi

Suatu sore setelah hujan menyiram kota kami, sebuah pelangi yang indah muncul menghias langit yang telah kembali terang. Kedua putri kecil dengan gembira memanggilku untuk ikut menikmati indahnya pelangi.
"Pelanginya indah ya, Ma", komentar Nisrina, putri kecilku.
"Aku ingin dekat ke pelangi....tapi aku kan ga bisa terbang ya, Ma", lanjutnya
"Kalau aku jadi peri....tiba-tiba aku menjadi kecil! Ga bisa kan...", lanjutnya lagi
Aku terpesona dengan keindahan warna-warna yang menghias di angkasa, dan mendengar komentar putri kecilku yang berusia tiga tahun membuatku tidak dapat berkata-kata, hanya senyuman lebar tersungging di bibirku. Kemudian akhirnya menimpali komentarnya dengan sebuah anggukan dan berkata, "Iya..."
"Aku sangat sukaa pelangi... Oh, betapa indahnya", katanya lagi sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Subhanallah, sungguh tiada yang dapat menciptakan keindahan luar biasa ini selain Allah Azza wa Jalla.

Kamis, April 04, 2013

Ketika Hafalanku Diuji Amira

Potret Amira
Saat itu Amira, putri keduaku, sedang menghafal Al Qur'an Surah An Naba di sekolahnya. Saat dia menghafalkan satu ayat setiap harinya, aku pun melakukannya di rumah. Hal itu kulakukan untuk memotivasi anakku dan juga aku, di samping akupun ingin bisa hafal dan paham Al Qur'an. Aku memacu diriku sendiri untuk selalu bisa selangkah di depannya, meskipun di hadapannya aku tidak menunjukkan bahwa aku lebih dulu darinya.

Ketika Amira mengulang hafalannya di rumah, aku mengikutinya tanpa suara. Sesekali jika dia lupa atau terpeleset, aku membantunya. Terkadang Amira suka bertanya,"Mama udah ayat berapa?" Saat dia tahu aku selangkah di depan, raut wajahnya berubah. Kalau sudah begitu, aku akan beralasan,"Sabtu Minggu kakak kan libur, jadi ga nambah hafalan. Mama kan ga ada libur, jadi lebih cepat dua ayat."

Sampai suatu hari Amira sudah menyelesaikan hafalannya sampai dengan ayat terakhir, namun dia masih lupa di beberapa bagian ayat tersebut. Sambil berpanduan pada Al Qur'an aku membimbingnya untuk memperlancar hafalannya. Setelah lancar ayat terakhir, kuminta ia mengulangnya dari ayat pertama dan permintaanku dipenuhinya dengan baik. Begitu selesai, tiba-tiba dia melihatku dengan pandangan menyelidik dari sudut matanya,"Mama apal ga dari ayat pertama? Jangan liat Qur'an!"
Sedikit kaget aku menanggapinya sikap galaknya dengan tertawa geli. Namun lanjutnya,"Coba kalo apal...!"

Meskipun merasa sedikit keki, tanpa menunggu lama aku lantunkan Surah An Naba dari ayat pertama. Alhamdulillah aku dapat terus melanjutkannya tanpa hambatan sampai dengan ayat terakhir.
Penutup lantunanku langsung disambutnya dengan senyum manis yang terkembang dari bibir mungilnya sambil memujikan,"Iya bener...Mama memang apal ya..."
Aku balas tersenyum sambil mengucap Alhamdulillah. Hatiku senang karena bisa membuatnya percaya bahwa mamanya tidak hanya mendorongnya untuk belajar menghafal Al Qur'an tapi turut melakukannya juga.

Alhamdulillah, dengan ijin-Nya kami masih terus melakukannya sampai saat ini. Sesekali sebelum tidur Amira melantunkan hafalan-hafalannya dan kemudian bertanya kepadaku mengenai hafalanku. Ketika dia mendapati aku lebih cepat darinya dia berkomentar bahwa dia akan bisa mendahuluiku.
Terima kasih sayang, semangatmu menjadi motivasi untuk mama.

Love you always!

Selasa, Februari 26, 2013

Anakku, Darimu Aku Belajar

Gaya FauziKetika kehadirannya melengkapi hidupku

Bahagia yang kurasakan sungguh tiada hingga

Menatapnya bagai melihat harapan

Meski rasa khawatir itu turut ada


Fauzi belajar sepeda
Langkah kecilnya sudah tak ada

Berlari, berlari dan selalu berlari

Melompat, berguling tak kenal henti

Bagai tak ada lelah di diri



Sabarku sering tak bersisa

Menuntutnya untuk sempurna

Padahal diri selalu bertambah baik

Melangkah mantap dari hari ke hari



Engkau selalu membuatku berpikir

Mencari dan terus mencari

Mencoba tak kenal henti

Belajar bagai tak bertepi



Karenamu sabarku teruji

Mendidikmu ikhlasku terasah

Turut pula iman dan taqwaku tertempa

Tempuh jalan melaksanakan amanah-Nya



Anakku,

Tak sedikit salahku padamu

Andai maaf dapat menghapus semua

Sungguh hanya yang terbaik ingin kuberi

Agar hidupmu mantap penuh berkah


Senyum Fauzi

Terima kasihku sungguh tak terhitung

Tak cukup bibir ini hanya mengucap

Namun baru ini yang dapat kuberi

Mendidikmu tak lelah tak henti



Anakku,

Darimu aku belajar

Ilmu yang tak pernah kujumpa

Dari pakar dan para ahli

Menjadi diri seorang ibu yang sejati



Terinspirasi oleh Fauzi Dhiya Arshaad, Juni 2008

Rabu, Januari 16, 2013

Ijinkan Aku Belajar Bersamamu

Potret FauziSetiap anak selalu dalam keadaan belajar sejak dilahirkannya. Mereka selalu belajar dan belajar telah menjadi hidupnya. Belajar bagi mereka seolah bagaikan bernafas. Seiring tumbuh kembangnya mencapai usia sekolah, banyak anak-anak yang tidak lagi menjadikan belajar sebagai hidupnya. Seakan-akan belajar adalah keterpaksaan, kekangan terhadap kebebasannya mengembangkan dirinya sebagaimana yang dialami oleh anak sulungku.

Putra pertamaku mendapatkan pembelajaran pertamanya di lingkungan rumah bersama orang-orang terdekatnya, aku-mama, papa dan pengasuhnya, serta nenek dan paman-pamannya. Hari-harinya selalu diisi dengan kegiatan belajar yang terjadi secara spontan sebagaimana anak/bayi lainnya. Kegiatan yang sering kami lakukan adalah bermain, bernyanyi dan membaca, serta mengulang doa-doa sehari-hari.

Alasan keterbatasan waktu karena bekerja mendorongku untuk menyekolahkannya di usia dini, dua tahun, di sebuah kelompok bermain di dekat rumah. Bayanganku sebuah kelompok bermain tentunya berisi sejumlah anak yang bermain bersama. Seandainya pun ada kegiatan belajar maka hal tersebut dilakukan sambil bermain sebagaimana yang kulakukan di rumah.
Pada kenyataannya tidaklah demikian, anak telah diajak untuk duduk di dalam kelas dan melakukan kegiatan terstruktur seperti mewarnai, menggunting dan menempel di waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain itu, ada pembatasan waktu bermain untuk anak-anak tersebut. Anakku yang sangat gembira melihat banyaknya mainan di halaman sekolah, seolah tidak pernah bosan untuk bisa mencoba semuanya, namun keinginannya tersebut harus pupus karena harus mengikuti program yang telah dibuat. Lama kelamaan, dia enggan mengikuti kegiatan di sekolahnya, hari-harinya hanya diisi dengan bermain tanpa mau mengikuti ketentuan yang diterapkan di sekolahnya sehingga dalam laporan hasil pendidikannya penilaiannya dirinya tidaklah baik. Hasil-hasil karya yang dibawanya ke rumah selalu dikatakannya sebagai pekerjaan gurunya bukan dirinya, mungkin itu hanyalah sebagai bukti adanya kegiatan yang dilaksanakan. 
Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan kebosanan pada anakku. Dia mulai terlihat tak bersemangat pergi ke sekolah, sampai pada suatu hari, dia berkata padaku,
“Ma, katanya mama orang pintar…”
“Orang pintar gimana?”
“Iya, mama kan bisa ngajar mahasiswa…, tp kenapa mama ga bisa ngajarin Aa? Aa ga mau sekolah lagi, ga mau belajar sama bu guru, mau belajar sama mama aja. Boleh ya..”

Tidak pernah terpikir olehku, setelah sembilan tahun berlalu, keinginannya di masa kecil itu masih tersimpan hingga kini ketika usianya sudah 11 tahun. Di saat dia sudah harus mulai memilih dan menentukan ke sekolah mana dia akan meneruskan pendidikannya di jenjang lanjutan, dia menangis karena sebenarnya dia tidak mau bersekolah di tempat yang telah dipilihnya yang telah kami ikuti prosedur pendaftarannya. Di tengah isaknya, dia bercerita bahwa sebenarnya dia hanya ingin belajar bersamaku, dia ingin belajar di rumah bersamaku.
Teringat olehnya situasi menyenangkan yang dialaminya saat kami membahas suatu topik bersama, mencari informasi-informasi di berbagai literatur dan membaca bersama. Kegiatan yang paling disukainya adalah saat aku membacakan untuknya, baik itu cerita atau puisi-puisi dari buku-buku.

Saat kutanyakan padanya mengapa dia ingin belajar di rumah bersamaku, dia menjelaskan bahwa banyak hal yang menjadi minatnya dan ingin dipelajarinya tetapi tidak dapat dilakukannya saat sekolah, karena harus mengikuti pelajaran-pelajaran yang sudah ditentukan.

Yang menyentuh perasaanku sebagai ibunya adalah ketika kuketahui bahwa dia masih suka menangis saat di sekolah karena ide-ide yang diajukannya tidak pernah diterima oleh teman-temannya. Suatu kejadian saat di tahun kelimanya, para siswa diminta untuk menilai dirinya sendiri dengan salah satu poin penilaian berupa kontribusi terhadap kelompok, anakku menilai dirinya sendiri dengan angka 2 dari skala 1 sampai dengan 10. Ketika kutanyakan alasannya kepadanya, dia menjawab bahwa memang demikian adanya. Kemudian kutanyakan lagi, tidakkah pernah walau hanya sekali dia menyampaikan ide ketika berada dalam kelompok, dijawabnya dengan sering tetapi tidak pernah diterima oleh anggota kelompok yang lain bahkan sebelum ide itu disampaikannya. Sejak itu dia menarik diri dan tidak mau lagi untuk menyampaikan ide-idenya. 

Terus terang aku bingung menghadapi keadaan ini dan memikirkan langkah apa yang harus diambil. Kembali kutanyakan pada anakku, apa sebenarnya yang dia inginkan? Sebuah jawaban sederhana disampaikannya kepadaku, bahwa dia hanya ingin belajar.

Jika kuperhatikan kesehariannya, anak sulungku adalah anak yang aktif dan kreatif. Kegiatan kesukaannya adalah menggambar, menulis, bermain Lego, dan membaca serta bermain games komputer. Dia menyukai musik dan hobinya adalah menyanyi. Dia sangat suka merancang permainan yang dijabarkannya dalam bentuk gambar dan skenario dalam bahasa Inggris.
Dia sangat senang membaca, buku-buku yang dibacanya sangat beragam, terutama sebuah kamus tebal berjudul Visual Dictionary. Dia mempelajari banyak hal dari buku tersebut mulai dari astronomi, anatomi tubuh manusia, hewan, tumbuhan sampai ke perkembangan persenjataan di dunia. Selain itu ketika dia berminat mempelajari sesuatu, dia akan dengan senang hati mencari sumber dari berbagai buku, seperti saat dia sangat tertarik dengan laba-laba, dibacanya buku Harun Yahya, Pustaka Sains Populer Islami tentang Menjelajah Dunia Laba-laba.
Karya Legonya sangatlah unik, tanpa melihat contoh sering dia membuat bentuk-bentuk yang bagus, seperti dinosaurus, pesawat tempur dan karakter orang dua dimensi. Permaianan Lego memang telah menjadi kegemarannya sejak dia berusia dua tahun dan hingga kini dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkreasi dan bermain dengannya.
Kegemarannya bermain games komputer kuarahkan untuk mempelajari cara membuat game komputer sendiri. Dia mempelajari sendiri program untuk membuat animasi dan karakter tiga dimensi dengan membaca buku-buku. Kini dia telah dapat membuat karakter-karakter sederhana serta menjalankan animasinya meskipun banyak trik yang belum dia kuasai sehingga dia membujukku untuk mengijinkannya mengikuti kursus.
Ketika dia tertarik untuk belajar bermain biola, tidak ada kesulitan baginya untuk menguasai pelajaran-pelajaran yang diberikan. Semangatnya terutama timbul jika ada pertunjukan-pertunjukan yang harus dia ikuti.  

Sayangnya dia tidak telaten mengumpulkan hasil-hasil karyanya, tidak tekun dalam proses penyelesaian pekerjaan, mudah bosan terhadap suatu bidang jika target yang ditetapkannya sendiri telah tercapai, mudah menyerah dalam bidang-bidang di luar minatnya, dan minatnya sangat mudah berubah sehingga ketika dia mempunyai ide atau minat baru dengan cepat dia akan beralih dari pekerjaan lamanya.

Aku mengenal anakku sebagai seorang pembelajar. Ketika belajar menimbulkan perasaan tertekan kepadanya, membuatnya kehilangan motivasi, merasa kebebasannya mengembangkan ide-ide hilang, dan kehilangan kepercayaan diri maka wajarkah jika aku merasa ada ketidakberesan dalam proses belajar yang diikutinya? Mungkin bukan programnya yang salah, tetapi karakter anakku tidak tepat dengan cara belajar dan tuntutan yang ditetapkan. Bila demikian yang terjadi, maka tugasku pulalah untuk mencari jalan keluar agar dengan potensi yang dimiliki berikut segala keterbatasan yang ada padanya, dia mendapatkan kesempatan terbaik mengembangkan kemampuan dirinya.

Berkali-kali kutanyakan pada anakku, bagaimana aku dapat membantunya dan apa yang diinginkannya. Jawabannya masih tetap sama, bahwa yang diinginkannya adalah belajar dan pintanya aku mengijinkannya untuk belajar denganku. 

Pilihan harus dibuat, kumantapkan hatiku dan kuyakinkan diriku bahwa aku akan mampu memenuhi permintaan anakku meskipun tantangan dan hambatan yang akan kuhadapi tidak sedikit. Pendidikan utamanya adalah tanggungjawab orangtua. Ketika seorang anak tidak mendapatkan kesesuaian dalam memenuhi kebutuhannya akan belajar, mengapa orangtua tidak mencoba untuk kembali kepada dirinya karena semestinya orangtualah yang paling mengenal anak-anaknya.

Perjalanan Minim Sampah

Minim sampah dalam perjalanan merupakan sebuah tantangan, namun hal tersebut sangat mungkin dilakukan. Memang tidak semua akan ideal seperti...