Setiap selesai makan, selalu kupesankan pada anak sulungku untuk mencuci piringnya sendiri. Meskipun sedikit mengeluh, dia tetap melaksanakan pesanku itu. Tetapi selalu ada saja barang yang disisakan untuk dicuci oleh orang lain, yaitu sendok dan garpunya. Di samping itu, piring yang dicucinya seringkali masih menyisakan bekas nasi atau minyak.
Mungkin baginya mencuci piring bukanlah sebuah pekerjaan yang penting. Namun dalam kenyataannya mencuci piring menyimpan proses pembelajaran dan pembentukan karakter di dalamnya.
Alkisah, pada suatu masa ada seorang pemuda yang mencari guru terbaik di negerinya. Ia mendengar bahwa guru yang paling hebat tinggal di sebuah tempat yang jauh dan sulit untuk ditempuh. Karena tekadnya sudah sangat kuat, maka berangkatlah pemuda itu dengan membawa perbekalan secukupnya.
Setelah menempuh perjalanan jauh, tibalah sang pemuda di tempat sang guru.
“Apa yang membuatmu tiba di tempat ini, anak muda?” Tanya sang guru.
“Saya ingin berguru agar saya menjadi orang yang arif bijaksana serta menjadi seorang pemimpin masyarakat.”
“Baiklah, sebelum saya bisa menerimamu, saya ingin bertanya, apakah engkau mencuci piring bekas sarapanmu tadi pagi?”
“Tentu saja tidak sempat, Guru. Berangkat ke sini bagi saya merupakan hal yang sangat penting, jangan sampai terganggu oleh hal yang sepele.”
“Kamu salah, sekarang pulanglah dulu. Cucilah piringmu dulu! Bagaimana mungkin engkau bisa menjadi pemimpin yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negeri, sedangkan engkau tidak bertanggung jawab terhadap barang yang telah engkau pergunakan.”