Rabu, Januari 16, 2013

Ijinkan Aku Belajar Bersamamu

Potret FauziSetiap anak selalu dalam keadaan belajar sejak dilahirkannya. Mereka selalu belajar dan belajar telah menjadi hidupnya. Belajar bagi mereka seolah bagaikan bernafas. Seiring tumbuh kembangnya mencapai usia sekolah, banyak anak-anak yang tidak lagi menjadikan belajar sebagai hidupnya. Seakan-akan belajar adalah keterpaksaan, kekangan terhadap kebebasannya mengembangkan dirinya sebagaimana yang dialami oleh anak sulungku.

Putra pertamaku mendapatkan pembelajaran pertamanya di lingkungan rumah bersama orang-orang terdekatnya, aku-mama, papa dan pengasuhnya, serta nenek dan paman-pamannya. Hari-harinya selalu diisi dengan kegiatan belajar yang terjadi secara spontan sebagaimana anak/bayi lainnya. Kegiatan yang sering kami lakukan adalah bermain, bernyanyi dan membaca, serta mengulang doa-doa sehari-hari.

Alasan keterbatasan waktu karena bekerja mendorongku untuk menyekolahkannya di usia dini, dua tahun, di sebuah kelompok bermain di dekat rumah. Bayanganku sebuah kelompok bermain tentunya berisi sejumlah anak yang bermain bersama. Seandainya pun ada kegiatan belajar maka hal tersebut dilakukan sambil bermain sebagaimana yang kulakukan di rumah.
Pada kenyataannya tidaklah demikian, anak telah diajak untuk duduk di dalam kelas dan melakukan kegiatan terstruktur seperti mewarnai, menggunting dan menempel di waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain itu, ada pembatasan waktu bermain untuk anak-anak tersebut. Anakku yang sangat gembira melihat banyaknya mainan di halaman sekolah, seolah tidak pernah bosan untuk bisa mencoba semuanya, namun keinginannya tersebut harus pupus karena harus mengikuti program yang telah dibuat. Lama kelamaan, dia enggan mengikuti kegiatan di sekolahnya, hari-harinya hanya diisi dengan bermain tanpa mau mengikuti ketentuan yang diterapkan di sekolahnya sehingga dalam laporan hasil pendidikannya penilaiannya dirinya tidaklah baik. Hasil-hasil karya yang dibawanya ke rumah selalu dikatakannya sebagai pekerjaan gurunya bukan dirinya, mungkin itu hanyalah sebagai bukti adanya kegiatan yang dilaksanakan. 
Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan kebosanan pada anakku. Dia mulai terlihat tak bersemangat pergi ke sekolah, sampai pada suatu hari, dia berkata padaku,
“Ma, katanya mama orang pintar…”
“Orang pintar gimana?”
“Iya, mama kan bisa ngajar mahasiswa…, tp kenapa mama ga bisa ngajarin Aa? Aa ga mau sekolah lagi, ga mau belajar sama bu guru, mau belajar sama mama aja. Boleh ya..”

Tidak pernah terpikir olehku, setelah sembilan tahun berlalu, keinginannya di masa kecil itu masih tersimpan hingga kini ketika usianya sudah 11 tahun. Di saat dia sudah harus mulai memilih dan menentukan ke sekolah mana dia akan meneruskan pendidikannya di jenjang lanjutan, dia menangis karena sebenarnya dia tidak mau bersekolah di tempat yang telah dipilihnya yang telah kami ikuti prosedur pendaftarannya. Di tengah isaknya, dia bercerita bahwa sebenarnya dia hanya ingin belajar bersamaku, dia ingin belajar di rumah bersamaku.
Teringat olehnya situasi menyenangkan yang dialaminya saat kami membahas suatu topik bersama, mencari informasi-informasi di berbagai literatur dan membaca bersama. Kegiatan yang paling disukainya adalah saat aku membacakan untuknya, baik itu cerita atau puisi-puisi dari buku-buku.

Saat kutanyakan padanya mengapa dia ingin belajar di rumah bersamaku, dia menjelaskan bahwa banyak hal yang menjadi minatnya dan ingin dipelajarinya tetapi tidak dapat dilakukannya saat sekolah, karena harus mengikuti pelajaran-pelajaran yang sudah ditentukan.

Yang menyentuh perasaanku sebagai ibunya adalah ketika kuketahui bahwa dia masih suka menangis saat di sekolah karena ide-ide yang diajukannya tidak pernah diterima oleh teman-temannya. Suatu kejadian saat di tahun kelimanya, para siswa diminta untuk menilai dirinya sendiri dengan salah satu poin penilaian berupa kontribusi terhadap kelompok, anakku menilai dirinya sendiri dengan angka 2 dari skala 1 sampai dengan 10. Ketika kutanyakan alasannya kepadanya, dia menjawab bahwa memang demikian adanya. Kemudian kutanyakan lagi, tidakkah pernah walau hanya sekali dia menyampaikan ide ketika berada dalam kelompok, dijawabnya dengan sering tetapi tidak pernah diterima oleh anggota kelompok yang lain bahkan sebelum ide itu disampaikannya. Sejak itu dia menarik diri dan tidak mau lagi untuk menyampaikan ide-idenya. 

Terus terang aku bingung menghadapi keadaan ini dan memikirkan langkah apa yang harus diambil. Kembali kutanyakan pada anakku, apa sebenarnya yang dia inginkan? Sebuah jawaban sederhana disampaikannya kepadaku, bahwa dia hanya ingin belajar.

Jika kuperhatikan kesehariannya, anak sulungku adalah anak yang aktif dan kreatif. Kegiatan kesukaannya adalah menggambar, menulis, bermain Lego, dan membaca serta bermain games komputer. Dia menyukai musik dan hobinya adalah menyanyi. Dia sangat suka merancang permainan yang dijabarkannya dalam bentuk gambar dan skenario dalam bahasa Inggris.
Dia sangat senang membaca, buku-buku yang dibacanya sangat beragam, terutama sebuah kamus tebal berjudul Visual Dictionary. Dia mempelajari banyak hal dari buku tersebut mulai dari astronomi, anatomi tubuh manusia, hewan, tumbuhan sampai ke perkembangan persenjataan di dunia. Selain itu ketika dia berminat mempelajari sesuatu, dia akan dengan senang hati mencari sumber dari berbagai buku, seperti saat dia sangat tertarik dengan laba-laba, dibacanya buku Harun Yahya, Pustaka Sains Populer Islami tentang Menjelajah Dunia Laba-laba.
Karya Legonya sangatlah unik, tanpa melihat contoh sering dia membuat bentuk-bentuk yang bagus, seperti dinosaurus, pesawat tempur dan karakter orang dua dimensi. Permaianan Lego memang telah menjadi kegemarannya sejak dia berusia dua tahun dan hingga kini dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berkreasi dan bermain dengannya.
Kegemarannya bermain games komputer kuarahkan untuk mempelajari cara membuat game komputer sendiri. Dia mempelajari sendiri program untuk membuat animasi dan karakter tiga dimensi dengan membaca buku-buku. Kini dia telah dapat membuat karakter-karakter sederhana serta menjalankan animasinya meskipun banyak trik yang belum dia kuasai sehingga dia membujukku untuk mengijinkannya mengikuti kursus.
Ketika dia tertarik untuk belajar bermain biola, tidak ada kesulitan baginya untuk menguasai pelajaran-pelajaran yang diberikan. Semangatnya terutama timbul jika ada pertunjukan-pertunjukan yang harus dia ikuti.  

Sayangnya dia tidak telaten mengumpulkan hasil-hasil karyanya, tidak tekun dalam proses penyelesaian pekerjaan, mudah bosan terhadap suatu bidang jika target yang ditetapkannya sendiri telah tercapai, mudah menyerah dalam bidang-bidang di luar minatnya, dan minatnya sangat mudah berubah sehingga ketika dia mempunyai ide atau minat baru dengan cepat dia akan beralih dari pekerjaan lamanya.

Aku mengenal anakku sebagai seorang pembelajar. Ketika belajar menimbulkan perasaan tertekan kepadanya, membuatnya kehilangan motivasi, merasa kebebasannya mengembangkan ide-ide hilang, dan kehilangan kepercayaan diri maka wajarkah jika aku merasa ada ketidakberesan dalam proses belajar yang diikutinya? Mungkin bukan programnya yang salah, tetapi karakter anakku tidak tepat dengan cara belajar dan tuntutan yang ditetapkan. Bila demikian yang terjadi, maka tugasku pulalah untuk mencari jalan keluar agar dengan potensi yang dimiliki berikut segala keterbatasan yang ada padanya, dia mendapatkan kesempatan terbaik mengembangkan kemampuan dirinya.

Berkali-kali kutanyakan pada anakku, bagaimana aku dapat membantunya dan apa yang diinginkannya. Jawabannya masih tetap sama, bahwa yang diinginkannya adalah belajar dan pintanya aku mengijinkannya untuk belajar denganku. 

Pilihan harus dibuat, kumantapkan hatiku dan kuyakinkan diriku bahwa aku akan mampu memenuhi permintaan anakku meskipun tantangan dan hambatan yang akan kuhadapi tidak sedikit. Pendidikan utamanya adalah tanggungjawab orangtua. Ketika seorang anak tidak mendapatkan kesesuaian dalam memenuhi kebutuhannya akan belajar, mengapa orangtua tidak mencoba untuk kembali kepada dirinya karena semestinya orangtualah yang paling mengenal anak-anaknya.

Perjalanan Minim Sampah

Minim sampah dalam perjalanan merupakan sebuah tantangan, namun hal tersebut sangat mungkin dilakukan. Memang tidak semua akan ideal seperti...