Putra pertamaku mendapatkan pembelajaran pertamanya di lingkungan rumah
bersama orang-orang terdekatnya, aku-mama, papa dan pengasuhnya, serta nenek
dan paman-pamannya. Hari-harinya selalu diisi dengan kegiatan belajar yang
terjadi secara spontan sebagaimana anak/bayi lainnya. Kegiatan yang sering kami
lakukan adalah bermain, bernyanyi dan membaca, serta mengulang doa-doa
sehari-hari.
Alasan keterbatasan waktu karena bekerja mendorongku untuk
menyekolahkannya di usia dini, dua tahun, di sebuah kelompok bermain di dekat
rumah. Bayanganku sebuah kelompok bermain tentunya berisi sejumlah anak yang
bermain bersama. Seandainya pun ada kegiatan belajar maka hal tersebut
dilakukan sambil bermain sebagaimana yang kulakukan di rumah.
Pada kenyataannya tidaklah demikian, anak telah diajak untuk duduk di
dalam kelas dan melakukan kegiatan terstruktur seperti mewarnai, menggunting
dan menempel di waktu-waktu yang telah ditentukan. Selain itu, ada pembatasan
waktu bermain untuk anak-anak tersebut. Anakku yang sangat gembira melihat
banyaknya mainan di halaman sekolah, seolah tidak pernah bosan untuk bisa
mencoba semuanya, namun keinginannya tersebut harus pupus karena harus
mengikuti program yang telah dibuat. Lama kelamaan, dia enggan mengikuti
kegiatan di sekolahnya, hari-harinya hanya diisi dengan bermain tanpa mau
mengikuti ketentuan yang diterapkan di sekolahnya sehingga dalam laporan hasil
pendidikannya penilaiannya dirinya tidaklah baik. Hasil-hasil karya yang
dibawanya ke rumah selalu dikatakannya sebagai pekerjaan gurunya bukan dirinya,
mungkin itu hanyalah sebagai bukti adanya kegiatan yang dilaksanakan.
Hal tersebut pada akhirnya menimbulkan kebosanan pada anakku. Dia mulai
terlihat tak bersemangat pergi ke sekolah, sampai pada suatu hari, dia berkata
padaku,
“Ma, katanya mama orang pintar…”
“Orang pintar gimana?”
“Iya, mama kan bisa ngajar mahasiswa…, tp kenapa mama ga bisa ngajarin
Aa? Aa ga mau sekolah lagi, ga mau belajar sama bu guru, mau belajar sama mama
aja. Boleh ya..”
Tidak pernah terpikir olehku, setelah sembilan tahun berlalu, keinginannya
di masa kecil itu masih tersimpan hingga kini ketika usianya sudah 11 tahun. Di
saat dia sudah harus mulai memilih dan menentukan ke sekolah mana dia akan
meneruskan pendidikannya di jenjang lanjutan, dia menangis karena sebenarnya
dia tidak mau bersekolah di tempat yang telah dipilihnya yang telah kami ikuti
prosedur pendaftarannya. Di tengah isaknya, dia bercerita bahwa sebenarnya dia
hanya ingin belajar bersamaku, dia ingin belajar di rumah bersamaku.
Teringat olehnya situasi menyenangkan yang dialaminya saat kami membahas
suatu topik bersama, mencari informasi-informasi di berbagai literatur dan
membaca bersama. Kegiatan yang paling disukainya adalah saat aku membacakan
untuknya, baik itu cerita atau puisi-puisi dari buku-buku.
Saat kutanyakan padanya mengapa dia ingin belajar di rumah bersamaku,
dia menjelaskan bahwa banyak hal yang menjadi minatnya dan ingin dipelajarinya
tetapi tidak dapat dilakukannya saat sekolah, karena harus mengikuti
pelajaran-pelajaran yang sudah ditentukan.
Yang menyentuh perasaanku sebagai ibunya adalah ketika kuketahui bahwa
dia masih suka menangis saat di sekolah karena ide-ide yang diajukannya tidak
pernah diterima oleh teman-temannya. Suatu kejadian saat di tahun kelimanya,
para siswa diminta untuk menilai dirinya sendiri dengan salah satu poin
penilaian berupa kontribusi terhadap kelompok, anakku menilai dirinya sendiri
dengan angka 2 dari skala 1 sampai dengan 10. Ketika kutanyakan alasannya
kepadanya, dia menjawab bahwa memang demikian adanya. Kemudian kutanyakan lagi,
tidakkah pernah walau hanya sekali dia menyampaikan ide ketika berada dalam
kelompok, dijawabnya dengan sering tetapi tidak pernah diterima oleh anggota
kelompok yang lain bahkan sebelum ide itu disampaikannya. Sejak itu dia menarik
diri dan tidak mau lagi untuk menyampaikan ide-idenya.
Terus terang aku bingung menghadapi keadaan ini dan memikirkan langkah
apa yang harus diambil. Kembali kutanyakan pada anakku, apa sebenarnya yang dia
inginkan? Sebuah jawaban sederhana disampaikannya kepadaku, bahwa dia hanya
ingin belajar.
Jika kuperhatikan kesehariannya, anak sulungku adalah anak yang aktif
dan kreatif. Kegiatan kesukaannya adalah menggambar, menulis, bermain Lego, dan
membaca serta bermain games komputer.
Dia menyukai musik dan hobinya adalah menyanyi. Dia sangat suka merancang
permainan yang dijabarkannya dalam bentuk gambar dan skenario dalam bahasa
Inggris.
Dia sangat senang membaca, buku-buku yang dibacanya sangat beragam,
terutama sebuah kamus tebal berjudul Visual
Dictionary. Dia mempelajari banyak hal dari buku tersebut mulai dari
astronomi, anatomi tubuh manusia, hewan, tumbuhan sampai ke perkembangan
persenjataan di dunia. Selain itu ketika dia berminat mempelajari sesuatu, dia
akan dengan senang hati mencari sumber dari berbagai buku, seperti saat dia
sangat tertarik dengan laba-laba, dibacanya buku Harun Yahya, Pustaka Sains
Populer Islami tentang Menjelajah Dunia Laba-laba.
Karya Legonya sangatlah unik, tanpa melihat contoh sering dia membuat
bentuk-bentuk yang bagus, seperti dinosaurus, pesawat tempur dan karakter orang
dua dimensi. Permaianan Lego memang telah menjadi kegemarannya sejak dia
berusia dua tahun dan hingga kini dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk
berkreasi dan bermain dengannya.
Kegemarannya bermain games komputer
kuarahkan untuk mempelajari cara membuat game
komputer sendiri. Dia mempelajari sendiri program untuk membuat animasi dan
karakter tiga dimensi dengan membaca buku-buku. Kini dia telah dapat membuat
karakter-karakter sederhana serta menjalankan animasinya meskipun banyak trik
yang belum dia kuasai sehingga dia membujukku untuk mengijinkannya mengikuti
kursus.
Ketika dia tertarik untuk belajar bermain biola, tidak ada kesulitan
baginya untuk menguasai pelajaran-pelajaran yang diberikan. Semangatnya terutama
timbul jika ada pertunjukan-pertunjukan yang harus dia ikuti.
Sayangnya dia tidak telaten mengumpulkan hasil-hasil karyanya, tidak
tekun dalam proses penyelesaian pekerjaan, mudah bosan terhadap suatu bidang
jika target yang ditetapkannya sendiri telah tercapai, mudah menyerah dalam
bidang-bidang di luar minatnya, dan minatnya sangat mudah berubah sehingga
ketika dia mempunyai ide atau minat baru dengan cepat dia akan beralih dari
pekerjaan lamanya.
Aku mengenal anakku sebagai seorang pembelajar. Ketika belajar
menimbulkan perasaan tertekan kepadanya, membuatnya kehilangan motivasi, merasa
kebebasannya mengembangkan ide-ide hilang, dan kehilangan kepercayaan diri maka
wajarkah jika aku merasa ada ketidakberesan dalam proses belajar yang
diikutinya? Mungkin bukan programnya yang salah, tetapi karakter anakku tidak
tepat dengan cara belajar dan tuntutan yang ditetapkan. Bila demikian yang
terjadi, maka tugasku pulalah untuk mencari jalan keluar agar dengan potensi
yang dimiliki berikut segala keterbatasan yang ada padanya, dia mendapatkan
kesempatan terbaik mengembangkan kemampuan dirinya.
Berkali-kali kutanyakan pada anakku, bagaimana aku dapat membantunya dan
apa yang diinginkannya. Jawabannya masih tetap sama, bahwa yang diinginkannya
adalah belajar dan pintanya aku mengijinkannya untuk belajar denganku.
Pilihan harus dibuat, kumantapkan hatiku dan kuyakinkan diriku bahwa aku akan mampu memenuhi permintaan anakku meskipun tantangan dan hambatan yang akan kuhadapi tidak sedikit. Pendidikan utamanya adalah tanggungjawab orangtua. Ketika seorang anak tidak mendapatkan kesesuaian dalam memenuhi kebutuhannya akan belajar, mengapa orangtua tidak mencoba untuk kembali kepada dirinya karena semestinya orangtualah yang paling mengenal anak-anaknya.
Pilihan harus dibuat, kumantapkan hatiku dan kuyakinkan diriku bahwa aku akan mampu memenuhi permintaan anakku meskipun tantangan dan hambatan yang akan kuhadapi tidak sedikit. Pendidikan utamanya adalah tanggungjawab orangtua. Ketika seorang anak tidak mendapatkan kesesuaian dalam memenuhi kebutuhannya akan belajar, mengapa orangtua tidak mencoba untuk kembali kepada dirinya karena semestinya orangtualah yang paling mengenal anak-anaknya.