LET THEM BRIGHT WITH THEIR OWN LIGHTS
“Apa yang
sebenarnya Aa rasakan, apa yang sebenarnya Aa tidak suka? Apakah tidak suka
belajar atau tidak suka sekolah?”
“Aa mau dan suka belajar, tapi di sekolah Aa tidak
belajar apa yang Aa butuhkan.”
Bergerak dari hal tersebut, aku menetapkan untuk
selalu berusaha fokus dengan apa yang menjadi kebutuhan anak-anak menurut
mereka agar mereka dapat berkembang sesuai dengan harapan dirinya, menemukan
dirinya dan menjadikan dirinya bermanfaat melalui peran yang dipilihnya.
Semua Ada
Waktunya
Anakku memperhatikanku dengan
seksama. Kemudian dia berkata,”Nina juga nanti mau nulis jurnal seperti Mamah
dan Kakak.”
Aku langsung menjawab spontan,
“Hayuk atuh dek, kita mulai.”
Tanpa kuduga dia menjawab,”Nanti
Mah, bukan sekarang. Nina tuh masih setengah hati, menulisnya pun setengah mati.”
Tertegun aku mendengar
jawabannya.
Aku kembali mengingat kejadian
empat tahun lalu, saat Nina ditantang papahnya untuk belajar membaca dengan
janji dia boleh meminta apa yang diinginkannya sebagai hadiah. Hampir setahun
berselang, belum ada tanda-tanda putri kecilku ini mulai bisa membaca. Hanya
minatnya akan buku yang tetap tinggi, yang menjadikan kami, aku dan
kakak-kakaknya, mempunyai tugas membacakan buku secara bergantian setiap hari.
Sesekali aku suka mencoleknya dan mengingatkan akan tantangan dari sang ayah.
Dengan santai, Nina menjawab,”Adek sedang belajar berhitung Mah, belum belajar
baca.”
“Jadi kapan belajar bacanya?”
tanyaku
“Nanti kalau sudah belajar
berhitung”, balasnya
Memasuki bulan Syawal di tahun
tersebut, aku perhatikan Nina selalu asyik dengan komik yang sama. Kemana-mana
selalu dibawa, sampai lecek. Tampak serius di satu bagian, terharu di bagian
yang lain dan tertawa di bagian yang berbeda lagi. Penasaran aku pun
bertanya,”Dek, emang ngerti? Bisa bacanya?”
“Bisa”, jawabnya mantap
“Mau dong Mamah dibacain”,
pintaku
Dibacakannya dengan keras komik
tersebut dari awal sampai akhir dan lancar. Tercatat 1 jam 20 menit dia
membacakannya untukku.
“Sejak kapan bisa baca?” tanyaku
penasaran
“Ga tau, Nina lupa”, jawabnya
enteng
Belajar dari putri kami, anak mempunyai waktunya
sendiri untuk mempelajari sesuatu hal dan mereka paham akan kesiapan dirinya.
Ketika anak siap, belajar menjadi lebih mudah. Sayangnya, aku seringkali masih
saja gatal untuk mempercepat prosesnya.
Menikmati
Proses
Jalan-jalan, jajan dan belanja
adalah tiga hal yang disukai Amira. Jalan-jalannya sederhana, yang penting keluar
dari rumah. Jalan kaki ke bukit atas atau sekedar berkeliling dengan motor
bersama Papah. Apalagi kalau ditambah jajan, wisata kuliner, dan belanja, senyumnya
akan semakin mengembang.
Saat jajan, jenis makanan yang
diminati pun seperti ada musimnya. Ada musim ayam geprek atau musim ramen.
Sebelumnya pernah ada musim pancake, donat, dan pizza.
Ketika musim pancake tiba, maka
hampir setiap hari tepung dan telor menghilang dari stok dapur. Selama belum
mendapatkan hasil pancake yang pas menurutnya, maka kami sekeluarga masih akan
mendapatkan suguhan pancake, meskipun menurut kami sudah enak.
Di lain waktu datanglah musim donat. Tiap hari
oprak oprek resep donat. Setelah menemukan resep yang gue banget dan dirinya
puas, tiba waktunya musim berganti.
Jika ditanya mengapa tidak membuat lagi berbagai
makanan yang pernah dicobanya, maka selalu dijawab singkat dengan “lagi ga
mau”, dan ditunjukkan dengan kesibukan baru oprak-oprek resep makanan yang
berbeda lagi. Pernah kukira dia sedang mencoba resep kukis coklat, eeh ternyata
membuat kukis wortel dicampur pellet untuk kelinci…
Eksperimen ini bukan hanya berlaku untuk makanan.
Pernah ada slime, yang berlangsung hampir dua tahun sampai menemukan “Original
Slime Recipe”. Kali lain membuat template blog yang menghasilkan tampilan blog
yang selalu berubah setiap harinya. Itu semua dilakukannya karena suka, mencoba
sampai mendapatkan hasil yang diharapkannya.
Menemukan
Pola Belajarnya Sendiri
“Nina mau belajar masak” jelas Nina saat
menunjukkan rencana belajarnya dua tahun lalu.
Segera aku mencoba menyiapkan program belajar
memasak untuknya menurut bayanganku.
Ketika melihatnya selalu asyik dengan buku-buku,
aku mengajaknya untuk memasak bersama.
“Mah, sekarang Nina sedang belajar tentang bahan
masakan”, jawabnya sambil menunjukkan halaman tentang berbagai macam rempah dan
bumbu lainnya di buku yang dibacanya.
Selama setahun pertama, Nina tetap asyik membaca,
dari mulai kamus bergambar sampai berbagai buku resep yang dipinjam dari
Eninnya. Selain itu dia senang bertanya segala sesuatu yang ada di dapur, menu
makan yang sedang kusiapkan, atau mencoba nguleg bumbu dan sekedar memegang
sutil serta mengaduk masakan. Tahun kedua, Nina sibuk bertanya tentang
kemampuan Mamanya memasak, mengapa masakannya selalu berputar menunya, menu
harian keluarga dan pesanan ke Mang Sayur. Lebih tepatnya di tahun tersebut, Nina
lebih banyak memotivasi Mama untuk mencoba resep-resep baru hasil bacanya. Dia
ikut membantu memasukkan atau mencampur bahan-bahan. Di samping itu dia rajin memberi
saran menu harian keluarga dan banyak mencoba makanan-makanan baru yang
sebelumnya tidak mau dicobanya. Nina menjadi andalan untuk mencicipi masakanku.
Di tahun kedua ini, Nina sudah bisa memasak nasi untuk keluarga dan menggoreng
telur untuk sarapannya sendiri.
Memasuki tahun ketiga, Nina mulai praktek memasak.
Kalau dia sedang ingin mencoba memasak, maka aku dilarangnya untuk ke dapur.
Dia mulai berani mengolah bahan makanan yang tersedia, menunya mulai dari nasi
goreng, sop sayuran, sop ikan nila, berbagai variasi orak arik telur, termasuk
juga mengolah ayam. Termasuk menyiapkan bekal untuk kegiatan pramuka di hari
Rabu, berupa variasi pasta atau omelet, karena bosan dengan bekal yang selalu
disediakan Mama-nya yang ga mau susah, nasi dan ayam goreng plus rebus sayuran.
Program memasak ini masih berlangsung sampai sekarang.
Satu ketika Nina menemaniku berkebun di halaman
depan, dia menyampaikan,”Nina juga mau punya kebun sendiri, nanam-nanam bunga.
Boleh Ma?”
“Boleh, Nina mau nanam di sebelah mana?” jawabku
bersemangat
“Bukan sekarang Ma. Sekarang Nina sedang belajar
tentang tanamannya dulu.” Jawabnya
Belajar dari pengalaman program memasak Nina, aku
langsung menahan diri dan menyadari anakku tahu tahapan apa yang ingin
dilakukannya.
Be Patient.
They’ll tell you
“Kak, gimana ceritanya berangkat sendiri teh?”
dengan antusias aku bersiap mendengar cerita perjalanan Amira.
“Biasa aja” jawabnya datar
“Gimana perasaannya? Waktu naik kereta, terus naik
KRL…kan Kakak belum pernah”, lanjutku lagi masih dengan penasaran
“Ya ga gimana gimana. Kakak naik kereta, cari
tempat duduk terus duduk. Pas harus turun ya turun. Ikut petunjuk yang dikasih
aja” jawabnya tetap datar
Aku pun menyerah dan melanjutkan aktivitas
Ketika kami sedang duduk santai, tiba-tiba Amira
memulai percakapan,”Mah, tau ga….” Dan meluncurlah berbagai kisah perjalanan
dan eksplorasi yang baru dijalaninya.
“Mah, tadi teman Aa curhat…”
“Mah, tadi asyik lho! Nina sama teman-teman main…”
“Mamah lihat ga tadi Kakak latihan…”
Itu adalah beberapa kata kunci awalan ketika
anak-anak siap berbagi ceritanya denganku
Anak-anak selalu senang bercerita selama aku tidak
terburu ingin mengetahuinya. Bersabar, mau menunggu dan kemudian mendengarkan.
Menetapkan
Pilihan dan Berkomitmen Menjalankannya
Menekuni dunia menggambar dan menjalankan project
membuat boardgame selama empat tahun
terakhir serta melatih Pramuka di dua sekolah dua tahun terakhir merupakan
kegiatan si sulung. Di samping itu dia pun magang di sebuah tempat bermain
boardgame dalam setahun terakhir. Hal ini membuat sulungku mengambil keputusan
yang berbeda dari yang kami bayangkan.
Mah, Aa ga akan ambil Paket C ya,
ga kuliah juga. Aa mau ngelanjutin project, magang dan ngajar”, tiba-tiba si
sulung menyampaikan keputusannya.
“Yakin?” tanyaku bingung
“Yakin”, jawabnya mantap
Mengobrol dengannya menanyakan
berbagai hal tentang keputusannya ini, aku merasakan bahwa anakku benar-benar
yakin dengan pilihannya. Sebagaimana dulu dia mengemukakan alasan untuk mencari
alternative belajar selain di sekolah, maka kali ini aku bisa melihat
kesungguhannya. Sehingga bagianku adalah mendukungnya dan menjadi teman ngobrol
yang bersedia mendengarkannya.
Do kNow
Think
Pernah ada fase dimana aku tidak
ingin melakukan apa-apa. DO NO THING! Mungkin lelah… :D
Namun ternyata aku tidak pernah
benar-benar tidak melakukan apa-apa. Terlalu banyak hal yang sayang untuk
dilewatkan, apalagi saat bersama anak-anak. Mereka terlalu dinamis dan selalu
mendorongku tetap bergerak.
Maka kemudian aku mencoba mengurai kembali semua
yang kulakukan (DO) dan mengenali manfaat serta pengaruhnya terhadap diri
sendiri, anak-anak dan keluarga (kNOw) serta memikirkan tindak lanjut untuk
memperbaiki, mengubah atau membesarkan laku yang telah dijalani (THINk).
Dan aku menemukan siklus penyemangatku untuk terus
membersamai anak-anak menemukan peran kehidupannya, cemerlang dengan sinarnya
sendiri.
Bandung, 8 September 2019
Dita Wulandari
@Rumah3Bintang
(Disampaikan dalam Tacit Padhang Mbulan WAG Perak Diaspora, Ahad 15 September 2019)